BEKSAN
B E K S A N
Sabtu, 21 Juli 2018 bertempat di Balai Soedjatmoko Solo
Diskusi Beksan “Pergulatan Daryo di Tengah Era Tari Jawa Klasik, Tradisi & Kontemporer”
Pembicara : Sal Murgiyanto, Wahyu Santosa Prabowo, Purnawan Andra
Jam 10.00 WIB
Pertunjukan Beksan
MEGATRUH & SRIKANDI BISMA
Pentas Tari Klasik Jawa dalam Reinterpretasi Daryono Darmorejono
Jam 19.30 WIB
Dari era ke era, kesenian akan mengalami perubahan dinamika. Oleh sebab itu pendokumentasian karya dirasa cukup penting untuk dilakukan. Beberapa karya bahkan hilang seiring perkembangan jaman. Generasi berikutnya mungkin masih mampu mengingat, akan tetapi tidak untuk dipentaskan kembali atau ditafsirkan ulang sebagai karya baru. Hal ini yang menjadi perhatian Balai Soedjatmoko sebagai lembaga yang memberi ruang apresiasi para koreografer yang mengalami dinamika dari waktu ke waktu. Maka Balai Soedjatmoko membuat program bagi koreografer di bidang tari untuk menampilkan kembali karya – karya mereka, mendiskusikan secara terbuka pada publik, dan apabila dibutuhkan akan diupayakan adanya resensi karya – karya mereka. Hal ini dirasa penting karena selain sebagai arsip, pendokumentasian akan menjadi bentuk penghargaan pada seniman dan karyanya, serta bisa menjadi cara untuk mempelajari tari, seniman dan perkembangannya dari jaman ke jaman.
Beksan adalah program untuk koreografer tari yang diselenggarakan di Balai Soedjatmoko, Solo.
Tema program ini dipilih sebagai upaya untuk melihat kembali bangunan pengetahuan, sejarah pemikiran dan praktik-praktik penyemaian tradisi tari, tarian dan kepenarian dalam masyarakat kita.
Penyelenggaraan pertama Program Beksan kali ini akan menampilkan Daryono Darmorejono, salah seorang koreografer dari Solo. Daryono mulai mengenal tari sejak masih kecil. Bapaknya merupakan seorang penari Mangkunegaran. Setelah lulus SMP Daryono masuk SMKI yang dulunya bernama Konservatori, dan melanjutkan ke ASKI (ISI Surakarta). Selama di Sasono Mulyo Daryono belajar pada beberapa empu seperti Ngaliman, Maridi, Rono Suripto, juga belajar pada Sardono W Kusumo. Karya pertama Daryono,Tari Pitutur, dipentaskan pada tahun 1982 di Kampus UNS. Pada tahun 2000 Daryono melakukan rekontruksi sebuah karya tari berjudul Bedaya Dirada Meta karya RM Said atau Sri Mangkunegara I untuk memperingati 250 tahun Pura Mangkunegaran. Daryono juga menjadi koreografer Mahakarya Borobudur yang melibatkan seratusan penari pada tahun 2015. Bedaya Sukapratama juga pernah direkontruksi Daryono. Beberapa karya Daryono antara lain Tari Luluh Ngrengkuh Penggayuh (2004), Wireng Srikandhi-Bhismo, Mahakarya Borobudur (2005), Bedoyo Senopaten Dirodometo, Wireng Seto-Bhismo (2006), Hadeging Projo Mangkunagaran (2007), Harjunososro-Sumantri, Sumpah Palapa Gadjah Mada (2008). Daryono, sekarang mengemban tugas sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi seni yang ada di Surakarta. Kiprahnya di dunia seni tidak hanya berlingkup pada dunia akademisi, namun juga diluar lingkup akademisi. Di Mangkunegran, Daryono juga aktif dalam kegiatan-kegiatan seni tari. Daryono menjalankan tugas luhurnya dengan merekonstruksi dan menjadi salah satu penari Bedhaya Dirada Meta ciptaan Senopati R M Said. Dirada Meta bermakna Gajah Mengamuk adalah tarian bedhaya sebagai ungkapan perkabungan Raden Mas Said kepada para Senopati nya yang gugur dalam pertempuran. Tarian ini tidak ditarikan secara keras dan seru layaknya tari perang, tetapi lembut dan khidmat dalam kewingitan aroma kematian. Daryono merekonstruksi karya tersebut dibantu oleh penari Wahyu Santosa Prabowo. Dengan Berbekal teks tembang Dirata Meta di Babad Tutur, Babad Lelampahan (berisi perjalanan/kisah Raden Mas Said) dan Babad Nitik Mangkunegara, Daryono melakukan riset napak-tilas Bedhaya Senapaten Dirada Meta. Sulitnya mendapatkan informasi yang lebih rinci tentang tari tersebut, Daryono memilih berpegang pada kekuatan “rasa” dengan berpedoman pada keikhlasan jiwa dan kejujuran hati (Alkabribedagai, 14 November 2014).