Pameran Seni Rupa "BUMI LANGIT"
Pameran Seni Rupa
“ BUMI LANGIT”
Bertempat di Balai Soedajatmoko Solo.
Karya :
- Digdo Irianto ( Surakarta )
- Fadjar Sutardi ( Surakarta )
- Nanang Yulianto ( Surakarta )
- Robert Nasrullah ( Yogyakarta )
- Rispul ( Yogyakarta )
- Syaiful Adnan ( Yogyakarta )
- Tulus Warsito ( Yogyakarta ) .
Pembukaan Pameran:
Jumat, 2 November 2018, jam 19.30 WIB
Dibuka oleh: Prof.Dr.Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum. (Guru Besar Bidang Humaniora Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Hiburan :
- Macapat Sekar Sari Kidung Rahayu Waluyo Sastro Sukarno (Dosen ISI Surakarta)
- Vokal-an Ipung Supriyati Kalwa (Karanganyar)
Pameran Berlangsung :
3 - 8 November 2018, jam 09.00 – 21.00 WIB
Sebuah upaya dialog visual dilakukan secara intensif oleh tujuh perupa. Dialog visual memenuhi ruang dan waktu hampir selama tujuh bulan. Dialog diadakan bersama untuk menyuarakan vibrasi spiritual pada pembacaan atas alam semesta dan teks-teks firman Tuhan, yang ternyata masih saja tumbuh, bergerak dan hidup dalam akal sehat manusia, dalam hal ini papar perupa. Perupa sebagai kreator seni sepertinya merasa ada tanggungjawab moral untuk menciptakan ruang nan sejuk dan aman, selaksa surgawi.
Teks suci, firman Tuhan atau kodrat alam diam-diam terus dibaca, ditelaah, didalami dan di ungkapkan oleh seniman yang istiqomah dengan terus melahirkan anak-anak kreatif mereka melalui karya seni yang tak menyakiti, tak melukai, tak menyayat sayat jiwa masyarakat, yang membutuhkan suasana adem,ayem kadya banyu sewindu lawase. Kesenian yang tak melukai, tapi bisa saja mengkritisi seakan menjadi oase-oase, ditengah pergumulan politik yang dewasa ini dirasakan sebagai panglima, ditengah dinamika fluktuatif ekonomi sebagai lahan dahaga nafsu angkara murka dan ditengah problem sosial yang makin tidak jelas juntrungannya.
Tujuh perupa dengan latar belakang etnik dan kultur yang berbeda, sepakat untuk mendoa bagi diri mereka yang mendosa,yang disebabkan oleh gempuran-gempuran zaman yang dikendalikan oleh pemegang kekuasaan hedonikal sistemik, logika digital yang endemik dan jiwa bebal yang mengangkangi nilai-nilai luhur kemanusiaan yang adil dan beradab. Tujuh perupa itu adalah, DigdoIrianto,Fadjar Sutardi,Nanang Yulianto,Robert Nasrullah, M.Rispul Rasidin, Syaiful Adnan,Tulus Warsito.
Persaudaraan Solo dan Yogyakarta diretas, direkat dan diikat dengan nuansa komunikasi dan dialog pada nilai-nilai kebumian dan kelangitan, menurut persepsi mereka. Konsep Bumi Langit di garap serius, untuk memaknai nilai-nilai keilahiyahan, kekauniyahan yang dibutuhkan oleh manusia secara mendalam dan tentu dengan pendekatan riset, walaupun tidak formal dan resmi. Bumi Langit, secara mendasar tak bisa dilupakan manusia. Bumi sebagai hamparan luas dan langit sebagai cakrawala, bisa menjadi media sekaligus sarana mediasi kepada Sang Pemilik Arsy’, yakni Tuhan Allah Yang Maha Kuasa.
Karya tulus Warsito, nan ritmik estetik dengan soft mind colour-nya, sungguh dapat menjadi refleksi bagi kita, Syaiful Adnan dengan teks firman ber-nas dengan sentuhan jiwa teksture nan lembut, Fadjar Sutardi, tampil dengan simbolisme antropomorfik dan selinapan namaNya menjadi catatan tersendiri, M. Rispul Rasidin mengingatkan kuasa Nabi Daud dengan tempaan-tempaan kreatif nan lentur, lembut dan atraktif pada logam-logam yang menyuarakan JalalahNya, Robert Narullah, dengan dialog kontemplatif pada benda-benda keseharian, tetapi menyiratkan pesan-pesan yang tajam, Nanang Yulianto, dengan semburan semburan warna monokromatik nan filosofis pada nilai-nilai kepurbakalaan awal kehidupan bermula nan abadi dan Digdo Irianto, pada tampilan suasana sendu dengan mengadopsi nilai-nilai sensualitas Jawa-nya, menjadikan pameran ini sebagai sebuah keniscayaan. Tujuh perupa, dengan agak kelakar, Syaiful Adnan menyela, sebagai simbol pencapaian menuju tujuh saf-saf langit. Ndelalah, tujuh perupa sepakat dengan gurauan Syaiful. Selamat datang, hadir dan mengalir menuju keharibaan akhir perjalanan panjang dengan membawa nilai-nilai abadi untuk dipersembahkan pada zaman keabadian nanti. Semoga pameran ini benar-benar menjadi oase sederhana bagiNya.(Fadjar Sutardi).